Shalat berjama’ah memiliki adab dan hukum-hukum yang terkait dan berhubungan dengannya. Semua ini karena arti penting dan kedudukannya dalam islam. Padahal pada kenyataannya banyak kaum muslimin yang belum mengetahui hal ini, sehingga banyak dijumpai mereka shalat berjama’ah tanpa memperhatikan adab dan hokum yang terkait. Akhirnya mereka terjerumus kedalam kesalahan dan dosa bahkan dalam kebid’ahan.
Batasan minimal peserta shalat berjama’ah.
Batasan minimal untuk shalat jama’ah adalah dua orang, seorang imam dan seorang makmum. Jumlah ini telah disepakati para ulama, sehingga Ibnu Qudamah menyatakan: “Shalat jama’ah dapat dilakukan oleh dua orang atau lebih. Kami belum menemukan perbedaan pendapat dalam masalah ini”[1].
Demikian juga Ibnu Hubairah menyatakan: “Para ulama bersepakat batasan minimal shalat jama’ah adalah dua orang, yaitu imam dan seorang makmum yang berdiri disebelah kanannya”.[2]
Shalat berjama’ah sah walaupun makmumnya seorang anak kecil atau wanita, berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu yang berbunyi:
بِتُّ عِنْدَ خَالَتِي فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ فَقُمْتُ أُصَلِّي مَعَهُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَأَخَذَ بِرَأْسِي فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ
“Aku tidur dirumah bibiku, lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bangun mengerjakan shalat malam. Lalu aku turut shalat bersamanya dan berdiri disamping kirinya. Kemudian beliau meraih kepalaku dan memindahkanku kesamping kanannya”[3]
Demikian juga hadits Anas bin Malik Radhiallahu’anhu :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِ وَبِأُمِّهِ قَالَ فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ وَأَقَامَ الْمَرْأَةَ خَلْفَنَا
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam shalat mengimami dia dan ibunya. Anas berkata: “Beliau menempatkanku disebelah kanannya dan wanita (ibunya) dibelakang kami”[4]
Semakin banyak jumlah makmum semakin besar pahalanya dan semakin Allah sukai, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
وَصَلَاةُ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ وَحْدَهُ وَصَلَاةُ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ مَعَ الرَّجُلِ وَمَا كَانُوا أَكْثَرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Shalat besama orang lain lebih baik dari shalat sendirian. Shalat bersama dua orang lebih baik dari shalat bersama seorang. Semakin banyak (yang shalat) semakim disukai Allah Ta’ala”[5]
Hadits ini jelas menunjukkan semakin banyak jumlah jama’ahnya semakin lebih utama dan lebih disukai Allah Ta’ala.
Demikian juga seorang anak kecil yang telah mumayiz boleh menjadi imam menurut pendapat yang rojih. Hal ini berdasarkan hadits Amru bin Salamah Radhiallahu’anhu yang berbunyi:
فَلَمَّا كَانَتْ وَقْعَةُ أَهْلِ الْفَتْحِ بَادَرَ كُلُّ قَوْمٍ بِإِسْلَامِهِمْ وَبَدَرَ أَبِي قَوْمِي بِإِسْلَامِهِمْ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ جِئْتُكُمْ وَاللَّهِ مِنْ عِنْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقًّا فَقَالَ صَلُّوا صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا وَصَلُّوا صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآنًا فَنَظَرُوا فَلَمْ يَكُنْ أَحَدٌ أَكْثَرَ قُرْآنًا مِنِّي فَقَدَّمُونِي بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَأَنَا ابْنُ سِتٍّ أَوْ سَبْعِ سِنِينَ
“Ketika terjadi penaklukan kota Makkah, setiap kaum datang menyatakan keislaman mereka. Bapakku datang menyatakan keislaman kaumku. Ketika beliau pulang beliau berkata: “Demi Allah Aku membawakan kepada kalian kebenaran dari sisi Rasulullah”. Lalu berkata: “Shalatlah kalian shalat ini pada waktu ini dan shalatlah ini pada waktu ini. Jika telah masuk waktu shalat, hnedaklah salah seorang kalian beradzan dan orang yang paling banyak hafalan qur’annya yang mengimami. Lalu mereka mencari (imam). Ternyata tidak ada seorangpun yang lebih banyak dariku hafalan Al Qur’annya. Lalu mereka menunjukku sebagai imam dan aku pada waktu itu berusia enam atau tujuh tahun”[6]
Kapan dikatakan mendapati shalat berjama’ah?
Gambaran permasalahan ini adalah seorang datang kemasjid untuk shalat berjama’ah. Kemudian mendapati imam ber-tasyahud akhir, lalu ber-takbiratul ihram. Apakah masbuq tersebut dikatakan mendapatkan pahala berjama’ah bersama imam ataukah dianggap sebagai shalat sendirian (munfarid)?.
Dalam permasalahan ini para ulama berbeda pendapat dalam tiga pendapat:
Pertama: Shalat jama’ah didapatkan dengan takbir sebelum imam salam.
Ini pendapat madzhab Hanafiyah dan Syafiiyah.
Berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam beliau bersabda:
إِذَا أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا تَأْتُوهَا تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا تَمْشُونَ عَلَيْكُمْالسَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
“Jika shalat telah diiqamati, maka janganlahmendatanginya denga nberlari, datangilah dengan berjalan. Kalian harus tenang. Apa yang kalian dapati maka shalatlah dan yang terlewatkan sempurnakanlah”[7]
Dalam hadits ini dinyatakan orang yang mendapatkan imam dalam keadaan sujud atau duduk tasyahud akhir sebagai orang yang mendapatkan, lalu menyempurnakan yang terlewatkan, sehingga orang yang bertakbir ihrom sebelum imam salam dikatakan mendapati shalat jama’ah.
Kedua: Membedakan antara jum’at dan jama’ah. Jika shalat jum’at melihat kepada raka’at dan jama’ah melihat kepada takbir.
Bermakna dalam shalat jum’at seseorang dikatakan mendapati shalat jum’at bersama imam bila mendapati satu raka’at bersama imam. Dikatakan mendapatkan jama’ah bila bertakbir sebelum imam mengucapkan salam. Ini pendapat yang masyhur dari madzhab syafi’i.[8]
Ketiga: Dikatakan mendapati shalat berjama’ah bila mendapati satu rakaat bersama imam.
Ini pendapat madzhab Malikiyah, Imam Ghazaaliy dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Muhammad bin Abdil Wahab dan Abdurrahman bin Naashir As Sa’di telah merajihkannya.[9]
Berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam beliau berkata:
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الصَّلَاةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ
“Siapa yang mendapatkan raka’at dari shalat maka telah mendapatkan shalat”[10] dan hadits Ibnu Umar yang berbunyi:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ أَوْ غَيْرِهَا فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ
“Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang mendapatkan satu rakaat dari shalat jum’at atau selainnya maka telah mendapatkan shalat”.[11]
Sedangkan rakaat dilihat dari ruku’nya sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah yang marfu’ :
إِذَا جِئْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ وَنَحْنُ سُجُودٌ فَاسْجُدُوا وَلَا تَعُدُّوهَا شَيْئًا وَمَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ
“Jika kalian berangkat shalat dan menemukan kami sedang sujud maka bersujudlah dan jangan dihitung sebagai rakaat. Barang siapa yang mendapatkan raka’at maka telah mendapatkan shalat”[12]
Mereka menyatakan: “Orang yang mendapatkan satu rakaat dari shalat jum’at atau selainnya maka mendapatkan shalat. Demikian juga Shalat jama’ah tidak dianggap mendapatinya kecuali dengan mendapat satu raka’at”.[13]
Pendapat ini dirajihkan Syaikhul Islam dalam pernyataan beliau: “Yang benar adalah pendapat ini, karena hal berikut:
Menurut syari’at, dalam hal ini takbir tidaklah berkaitan dengan hukum apapun, tidak berkaitan dengan waktu dan tidak pula dengan jum’at atau jama’ah atau yang lainnya. Takbir disini adalah sifat yang tidak terkait dengan hukum apapun (Washfun Mulgha) dalam tinjauan syari’at. Maka dari itu tidak boleh menggunakannya sebagai hujjah.
Syari’at hanya mengaitkan status dapat tidaknya shalat berjama’ah dengan mendapati raka’at. Pengaitannya dengan takbir akan meniadakannya.
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengaitkan dapatnya shalat berjama’ah bersama imam dengan raka’at. Ini adalah nash permasalahan.
Jum’at tidak didapati seseorang kecuali mendapati raka’at, demikianlah fatwa sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam diantaranya; Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Anas dan yang lainnya. Tidak diketahui ada sahabat yang menyelisihi meeka dalam hal ini. Bahkan sebagian ulama menyatakan hal ini merupakan ijma’ sahabat. Pemisahan hukum jum’at dengan jama’ah disini tidak benar. Oleh karena itu Abu Hanifah meninggalkan ushulnya dan membedakan keduanya. Tapi hadits dan atsar sahabat membatalkan pendapat beliau.
Bila tidak mendapati satu raka’atpun bersama imam, maka tidaklah dianggap mendapati jama’ah. Karena ia menyelesaikan seluruh bagian shalatnya dengan sendirian. Ia tidak terhitung mendapati satupun bagian shalat bersama imam, seluruh bagian shalat dia kerjakan sendirian.[14]
Pendapat ini adalah pendapat yang rajih, Wallahu a’lam bish Shawaab.
Hukum Berjama’ah Dalam Shalat Nafilah.[15]
Shalat nafilah (shalat tathawu’) sangat penting bagi seorang muslim, bahkan ia merupakan pelengkap dan penyempurna shalat fardhu. Melihat pentingnya permasalahan ini perlu diketahui secara jelas hukum seputar jama’ah dalam shalat nafilah.
Nafilah bila ditinjau dari pensyari’atan jama’ah padanya terbagi menjadi dua;
A. Shalat nafilah yang disyari’atkan padanya jama’ah
Shalat nafilah yang disunnahkan berjama’ah adalah:
1. Shalat Kusuf (Shalat gerhana matahari).
Shalat ini disunnahkan berjama’ah dengan kesepakatan para fuqaaha’. Sedangkan shalat gerhana bulan terdapat perselisihan para ulama padanya. Imam Abu Hanifah dan Malik menyatakan tidak disunnahkan, sedangkan imam Syafi’I dan Ahmad menyatakan sunnahnya.
2. Shalat Istisqa’
Disunnahkan berjamaah menurut madzhab Malikiyah, Syafiiyah, Hambaliyah dan dua murid Abu Hanifah yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat tidak disunnahkannya berjama’ah.
3. Shalat Ied
Disunnahkan berjamaah secara ijma’ kaum muslimin.
4. Shalat Tarawih
B. Shalat nafilah yang tidak disyari’atkan berjama’ah.
Shalat yang disyariatkan melakukannya sendirian tidak berjama’ah sangat banyak sekali, diantaranya shalat rawatib, shalat sunnah mutlaqoh dan yang disunnahkan di setiap malam dan siang.
Tentang hukum melakukan shalat-shalat tersebut berjama’ah terjadi peselisihan diantara para ulama. Madzhab Syafiiyah dan Hambaliyah memperbolehkan berjama’ah, Madzhab Hanafiyah memakruhkannya dan madzhab Malikiyah membolehkan berjama’ah kecuali sunnah rawatib sebelum subuh. Mereka nyatakan hal itu menyelisihi yang lebih utama, selebihnya boleh dengan syarat jama’ahnya tidak banyak dan tidak ditempat yang terkenal, karena takut terjadi riya’ dan munculnya anggapan bahwa hak itu wajib.
Akan tetapi yang benar dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam , beliau pernah melakukan kedua-duanya. Pernah meklakukan shalat sunnah tersebut dengan berjama’ah dan sendirian. Sebagaimana riwayat berikut ini:
a.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ جَدَّتَهُ مُلَيْكَةَ دَعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِطَعَامٍ صَنَعَتْهُ فَأَكَلَ مِنْهُ ثُمَّ قَالَ قُومُوا فَأُصَلِّيَ لَكُمْ قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ فَقُمْتُ إِلَى حَصِيرٍ لَنَا قَدْ اسْوَدَّ مِنْ طُولِ مَا لُبِسَ فَقَامَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَفْتُ أَنَا وَالْيَتِيمُ وَرَاءَهُ وَالْعَجُوزُ مِنْ وَرَائِنَا فَصَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ انْصَرَفَ
“Dari Anas bin Malik Radhiallahu’anhu beliau menyatakan bahwa neneknya yang bernama Mualikah mengundang Rasulullah makan-makan yang dibuatnya. Lalu Rasulullah memakannya dan berkata: “bangkitlah kalian, aku akan shalat berjama’ah bersama kalian”. Anas berkata: aku mengambil tikarkami yang telah berwarna hitam karena lamanya pemakaian dan rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam bangkit. Aku dan seorang anak yatim membuat shof dibelakang beliau, sedang orang-orang tua wanita berdiri dibelakang kami. Rasulullah shalat dua raka’at kemudian pergi”[16]
b.
عَنْ عِتْبَانَ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاهُ فِي مَنْزِلِهِ فَقَالَ أَيْنَ تُحِبُّ أَنْ أُصَلِّيَ لَكَ مِنْ بَيْتِكَ قَالَ فَأَشَرْتُ لَهُ إِلَى مَكَانٍ فَكَبَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَفْنَا خَلْفَهُ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ
“Dari Utbaan bin Maalik bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mendatanginya di rumahnya, lalu berkata: “Dimana dari rumahmu ini yang kamu suka aku shalat untuk mu”. Lalu aku tunjukkan satu tempat. Kemudian beliau bertakbir dan kami membuat shof dibelakangnya. Beliau shalat dua raka’at”[17]
Demikian juga Syaikh Shalih As Sadlaan me-rajih-kan pendapat kebolehannya dengan syarat, sebagaimana pernyataan beliau: “Yang benar dari yang telah kami sampaikan, nafilah boleh dilakukan dengan berjama’ah. Baik nafilahnya adalah sunnah rawatib atau sunnah mustahabbah atau tathawu’ mutlaq. Tapi dengan syarat tidak menjadikannya satu kebiasaan, tidak ditampakkan secara terang-terangan dan dilakukan karena satu sebab seperti diminta tuan rumah atau kerena berbarengan dalam menunaikan sunah, seperti tamu ketika bertamu, seandainya dia dan tuan rumahnya shalat witir berjama’ah, dengan syarat tidak timbul kebid’ahan atau perkara yang tidak dibolehkan oleh Syari’at. Jika terjadi satu dari yang telah disebutkan maka tidak disyari’atkan berjama’ah”.[18]
Kesimpulannya dibolehkan melaksanakan shalat sunnah berjama’ah selama tidak menimbulkan kebid’ahan atau pelanggaran syari’at dan dibutuhkan untuk itu. Wallahu a’lam.
Udzur Yang Memperbolehkan Tidak Menghadiri Shalat Berjama’ah
Diperbolehkan tidak menghadiri shalat berjama’ah dengan sebab-sebab tertentu. Diantara sebab-sebab tersebut:
1. Dingin dan hujan.
Berdasarkan hadits dari Nafi’, beliau berkata:
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ أَذَّنَ بِالصَّلَاةِ فِي لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ ثُمَّ قَالَ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ ذَاتُ بَرْدٍ وَمَطَرٍ يَقُولُ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ
“Sesungguhnya Ibnu Umar beradzan untuk shalat pada malam yang dingin dan berangin kencang, kemudian berkata: “Ala Shollu Fi Rihaalikum (Shalatlah kalian di rumah kalian)”. Lalu beliau berkata: “Sesuangguhnya Raasululloh memerintahkan muadzin jika malam dingin dan berhujan mengatakan: “Ala Shollu Firihaal”.(Mutafaqun Alaihi).
2. Sakit yang memberatkan penderitanya menghadiri jama’ah.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala :
وَمَاجَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِن قَبْلُ
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu“ (QS. Al Hajj 78)
dan Sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam ketika sakit dan tidak bisa mengimami shalat beberapa hari:
مُرُوْا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ لِلنَّاسِ
“Perintahkanlah Abu Bakr agar mengimami manusia”[19]
Ibnu Hazm berkata: “Ini tidak diperselisihkan”[20]
3. Kondisi tidak aman yang dapat membahayakan diri, harta dan kehormatannya.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala :
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al Baqarah 286(
dan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ
“Barang siapa yang mendengar adzan lalu tidak datang maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur”[21]
Dalam riwayat Al Baihaqi ada tambahan tafsir udzur disini dengan sakit atau rasa takut (situasi tidak aman). [22]
4. Saat makanan telah dihidangkan dan menahan hajat kecil atau besar.
Berdasarkan hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ
“Tidak boleh shalat saat makanan dihidangkan dan tidak pula ketika menahan buang hajat kecil dan besar”[23]
5. Ketiduran
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
إِنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلَاةَ حَتَّى يَجِيءَ وَقْتُ الصَّلَاةِالْأُخْرَى فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَلْيُصَلِّهَا حِينَ يَنْتَبِهُ لَهَا
“Bukanlah ketiduran tafrith (tercela), akan tetapi tafrith hanya pada orang yang tidak shalat sampai datang waktu shalat yang lainnya. Barang siapa yang berbuat demikian maka hendaklah shalat ketika sadar” [24]
Demikianlah sebagian perkara yang penting yang berhubungan dengan shalat jama’ah. Semoga bermanfaat.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel UstadzKholid.Com
[1] Al Mughni, 3/7.
[2] Al Ifshah An Ma’aanish Shihaah, 1/155, dinukil dari Shalatul Jam’ah karya Prof. DR. Shalih bin Ghaanim Assadlaan hal 47. lihat juga pernyataan kesepakatan ini dalam Raudhatun Nadiyah karya Shidiq Hasan Khan, 1/308.
[3] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Jum’ah, Bab Ma Ja’a fil Witri, no 937
[4] Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya kitab Al Masaajid wa Mawaadhi’ Shalat, bab Jawaazu Al Jama’ah fin Nafilah wash Shalat Ala Hashiir Wa Khamrah no. 1056.
[5] Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya, kitab Ash Shalat bab Fi Fadhli Shalatul Jama’ah no.467, An-Nasaa’i dalam sunannya kitab Al Imamah bab Al jama’ah idza kaana Itsnaini no.834, Ahmad dalam Musnad-nya no.20312 dan Al Haakim dalam Mustadrak-nya 3/269. Hadits ini di-shahih-kan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya, 2/366-367, no. 1477.
[6] Diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Maghaaziy no. 3963.
[7] Diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam Shahih-nya
[8] Lihat Majmu’ Fatawa, 23/331.
[9] Lihat Shalatul Jama’ah hal 50. tentang tarjih mereka ini dapat dilihat dalam kitab Adaab Al Masyi Ila Shalat hal 29 dan Al Mukhtaraat Al Jaliyah Fil Masaail Al Fiqhiyah (dalam Al Majmu’ah Al Kaamilah Li Mualafat Syeikh Abdurrahman bin Naashir Assa’diy, 2/109).
[10] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya kitab Mawaaqitus Shalat bab Man Adraka Minas Shalat Rakaat no.546 dan Muslim dalam Shahih-nya kitab Al Masaajid wa Mawaadhi’ Shalat, Bab Man Adraka Minas Shalat Rakaat Faqad Adraaka Shalat no. 954
[11] Diriwayatkan oleh An Nasaa’i dalam Sunan-nya kitab Al Mawaaqit Bab Man Adraka Rak’atan Minas Shalat no. 554, Ibnu Maajah dalam Sunan-nya, kitab Iqamatush Shalat Was Sunnah Fiha, bab Ma Ja’a Fiman Adraka Minal Jum’at Rak’atan no.1113 dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya 3/173.
[12] Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam sunannya kitab Ash Shalat Bab Fi Rajuli Yudrikul Imam Sajidan Kaifa Yasna’ no. 759
[13] Lihat Shalatul Jama’ah hal 51.
[14] Majmu’ Fatawa, 23/331-332 dengan sedikit pemotongan.
[15] Diringkas dari Shalatul Jama’ah, karya Syaikh Shalih As Sadlaan hal 74-78 dengan beberapa perubahan.
[16] Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahih-nya kitab Al Masaajid wa Mawaadhi’ Shalat bab Jawaazu Al Jama’ah Fin Nafilah was Shalat Ala Hashiir wa Khomrah no. 1053
[17] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya kitab Ash Shalat bab Idza Dahola Baitan Haitsu Syaa no. 406.
[18] Shalatul Jama’ah hal 77-78.
[19] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya
[20] Al Muhalla, 4/351.
[21] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, kitab Al Masaajid wal Jama’ah, bab At Taghlidz fi At Takhalluf ‘Anil Jama’ah no. 785. hadits ini di-shahih-kan Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Maajah no. 631.
[22] Dibawakan oleh penulis kitab Shalat Jama’ah hal 199 dan dinisbatkan kepada Sunan Al Kubra Al Baihaqi, 1/185.
[23] Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya kitab Al Masaajid wa Mawaadhi Shalat bab Karahatus Shalat Bi Hadhratith Tho’aam no. 869.
Posted on 03.24 by Adit MINE and filed under | 0 Comments »
Batasan minimal peserta shalat berjama’ah.
Batasan minimal untuk shalat jama’ah adalah dua orang, seorang imam dan seorang makmum. Jumlah ini telah disepakati para ulama, sehingga Ibnu Qudamah menyatakan: “Shalat jama’ah dapat dilakukan oleh dua orang atau lebih. Kami belum menemukan perbedaan pendapat dalam masalah ini”[1].
Demikian juga Ibnu Hubairah menyatakan: “Para ulama bersepakat batasan minimal shalat jama’ah adalah dua orang, yaitu imam dan seorang makmum yang berdiri disebelah kanannya”.[2]
Shalat berjama’ah sah walaupun makmumnya seorang anak kecil atau wanita, berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu yang berbunyi:
بِتُّ عِنْدَ خَالَتِي فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ فَقُمْتُ أُصَلِّي مَعَهُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَأَخَذَ بِرَأْسِي فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ
“Aku tidur dirumah bibiku, lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bangun mengerjakan shalat malam. Lalu aku turut shalat bersamanya dan berdiri disamping kirinya. Kemudian beliau meraih kepalaku dan memindahkanku kesamping kanannya”[3]
Demikian juga hadits Anas bin Malik Radhiallahu’anhu :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِ وَبِأُمِّهِ قَالَ فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ وَأَقَامَ الْمَرْأَةَ خَلْفَنَا
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam shalat mengimami dia dan ibunya. Anas berkata: “Beliau menempatkanku disebelah kanannya dan wanita (ibunya) dibelakang kami”[4]
Semakin banyak jumlah makmum semakin besar pahalanya dan semakin Allah sukai, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
وَصَلَاةُ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ وَحْدَهُ وَصَلَاةُ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ مَعَ الرَّجُلِ وَمَا كَانُوا أَكْثَرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Shalat besama orang lain lebih baik dari shalat sendirian. Shalat bersama dua orang lebih baik dari shalat bersama seorang. Semakin banyak (yang shalat) semakim disukai Allah Ta’ala”[5]
Hadits ini jelas menunjukkan semakin banyak jumlah jama’ahnya semakin lebih utama dan lebih disukai Allah Ta’ala.
Demikian juga seorang anak kecil yang telah mumayiz boleh menjadi imam menurut pendapat yang rojih. Hal ini berdasarkan hadits Amru bin Salamah Radhiallahu’anhu yang berbunyi:
فَلَمَّا كَانَتْ وَقْعَةُ أَهْلِ الْفَتْحِ بَادَرَ كُلُّ قَوْمٍ بِإِسْلَامِهِمْ وَبَدَرَ أَبِي قَوْمِي بِإِسْلَامِهِمْ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ جِئْتُكُمْ وَاللَّهِ مِنْ عِنْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقًّا فَقَالَ صَلُّوا صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا وَصَلُّوا صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآنًا فَنَظَرُوا فَلَمْ يَكُنْ أَحَدٌ أَكْثَرَ قُرْآنًا مِنِّي فَقَدَّمُونِي بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَأَنَا ابْنُ سِتٍّ أَوْ سَبْعِ سِنِينَ
“Ketika terjadi penaklukan kota Makkah, setiap kaum datang menyatakan keislaman mereka. Bapakku datang menyatakan keislaman kaumku. Ketika beliau pulang beliau berkata: “Demi Allah Aku membawakan kepada kalian kebenaran dari sisi Rasulullah”. Lalu berkata: “Shalatlah kalian shalat ini pada waktu ini dan shalatlah ini pada waktu ini. Jika telah masuk waktu shalat, hnedaklah salah seorang kalian beradzan dan orang yang paling banyak hafalan qur’annya yang mengimami. Lalu mereka mencari (imam). Ternyata tidak ada seorangpun yang lebih banyak dariku hafalan Al Qur’annya. Lalu mereka menunjukku sebagai imam dan aku pada waktu itu berusia enam atau tujuh tahun”[6]
Kapan dikatakan mendapati shalat berjama’ah?
Gambaran permasalahan ini adalah seorang datang kemasjid untuk shalat berjama’ah. Kemudian mendapati imam ber-tasyahud akhir, lalu ber-takbiratul ihram. Apakah masbuq tersebut dikatakan mendapatkan pahala berjama’ah bersama imam ataukah dianggap sebagai shalat sendirian (munfarid)?.
Dalam permasalahan ini para ulama berbeda pendapat dalam tiga pendapat:
Pertama: Shalat jama’ah didapatkan dengan takbir sebelum imam salam.
Ini pendapat madzhab Hanafiyah dan Syafiiyah.
Berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam beliau bersabda:
إِذَا أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا تَأْتُوهَا تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا تَمْشُونَ عَلَيْكُمْالسَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
“Jika shalat telah diiqamati, maka janganlahmendatanginya denga nberlari, datangilah dengan berjalan. Kalian harus tenang. Apa yang kalian dapati maka shalatlah dan yang terlewatkan sempurnakanlah”[7]
Dalam hadits ini dinyatakan orang yang mendapatkan imam dalam keadaan sujud atau duduk tasyahud akhir sebagai orang yang mendapatkan, lalu menyempurnakan yang terlewatkan, sehingga orang yang bertakbir ihrom sebelum imam salam dikatakan mendapati shalat jama’ah.
Kedua: Membedakan antara jum’at dan jama’ah. Jika shalat jum’at melihat kepada raka’at dan jama’ah melihat kepada takbir.
Bermakna dalam shalat jum’at seseorang dikatakan mendapati shalat jum’at bersama imam bila mendapati satu raka’at bersama imam. Dikatakan mendapatkan jama’ah bila bertakbir sebelum imam mengucapkan salam. Ini pendapat yang masyhur dari madzhab syafi’i.[8]
Ketiga: Dikatakan mendapati shalat berjama’ah bila mendapati satu rakaat bersama imam.
Ini pendapat madzhab Malikiyah, Imam Ghazaaliy dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Muhammad bin Abdil Wahab dan Abdurrahman bin Naashir As Sa’di telah merajihkannya.[9]
Berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam beliau berkata:
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الصَّلَاةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ
“Siapa yang mendapatkan raka’at dari shalat maka telah mendapatkan shalat”[10] dan hadits Ibnu Umar yang berbunyi:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ أَوْ غَيْرِهَا فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ
“Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang mendapatkan satu rakaat dari shalat jum’at atau selainnya maka telah mendapatkan shalat”.[11]
Sedangkan rakaat dilihat dari ruku’nya sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah yang marfu’ :
إِذَا جِئْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ وَنَحْنُ سُجُودٌ فَاسْجُدُوا وَلَا تَعُدُّوهَا شَيْئًا وَمَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ
“Jika kalian berangkat shalat dan menemukan kami sedang sujud maka bersujudlah dan jangan dihitung sebagai rakaat. Barang siapa yang mendapatkan raka’at maka telah mendapatkan shalat”[12]
Mereka menyatakan: “Orang yang mendapatkan satu rakaat dari shalat jum’at atau selainnya maka mendapatkan shalat. Demikian juga Shalat jama’ah tidak dianggap mendapatinya kecuali dengan mendapat satu raka’at”.[13]
Pendapat ini dirajihkan Syaikhul Islam dalam pernyataan beliau: “Yang benar adalah pendapat ini, karena hal berikut:
Menurut syari’at, dalam hal ini takbir tidaklah berkaitan dengan hukum apapun, tidak berkaitan dengan waktu dan tidak pula dengan jum’at atau jama’ah atau yang lainnya. Takbir disini adalah sifat yang tidak terkait dengan hukum apapun (Washfun Mulgha) dalam tinjauan syari’at. Maka dari itu tidak boleh menggunakannya sebagai hujjah.
Syari’at hanya mengaitkan status dapat tidaknya shalat berjama’ah dengan mendapati raka’at. Pengaitannya dengan takbir akan meniadakannya.
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengaitkan dapatnya shalat berjama’ah bersama imam dengan raka’at. Ini adalah nash permasalahan.
Jum’at tidak didapati seseorang kecuali mendapati raka’at, demikianlah fatwa sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam diantaranya; Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Anas dan yang lainnya. Tidak diketahui ada sahabat yang menyelisihi meeka dalam hal ini. Bahkan sebagian ulama menyatakan hal ini merupakan ijma’ sahabat. Pemisahan hukum jum’at dengan jama’ah disini tidak benar. Oleh karena itu Abu Hanifah meninggalkan ushulnya dan membedakan keduanya. Tapi hadits dan atsar sahabat membatalkan pendapat beliau.
Bila tidak mendapati satu raka’atpun bersama imam, maka tidaklah dianggap mendapati jama’ah. Karena ia menyelesaikan seluruh bagian shalatnya dengan sendirian. Ia tidak terhitung mendapati satupun bagian shalat bersama imam, seluruh bagian shalat dia kerjakan sendirian.[14]
Pendapat ini adalah pendapat yang rajih, Wallahu a’lam bish Shawaab.
Hukum Berjama’ah Dalam Shalat Nafilah.[15]
Shalat nafilah (shalat tathawu’) sangat penting bagi seorang muslim, bahkan ia merupakan pelengkap dan penyempurna shalat fardhu. Melihat pentingnya permasalahan ini perlu diketahui secara jelas hukum seputar jama’ah dalam shalat nafilah.
Nafilah bila ditinjau dari pensyari’atan jama’ah padanya terbagi menjadi dua;
A. Shalat nafilah yang disyari’atkan padanya jama’ah
Shalat nafilah yang disunnahkan berjama’ah adalah:
1. Shalat Kusuf (Shalat gerhana matahari).
Shalat ini disunnahkan berjama’ah dengan kesepakatan para fuqaaha’. Sedangkan shalat gerhana bulan terdapat perselisihan para ulama padanya. Imam Abu Hanifah dan Malik menyatakan tidak disunnahkan, sedangkan imam Syafi’I dan Ahmad menyatakan sunnahnya.
2. Shalat Istisqa’
Disunnahkan berjamaah menurut madzhab Malikiyah, Syafiiyah, Hambaliyah dan dua murid Abu Hanifah yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat tidak disunnahkannya berjama’ah.
3. Shalat Ied
Disunnahkan berjamaah secara ijma’ kaum muslimin.
4. Shalat Tarawih
B. Shalat nafilah yang tidak disyari’atkan berjama’ah.
Shalat yang disyariatkan melakukannya sendirian tidak berjama’ah sangat banyak sekali, diantaranya shalat rawatib, shalat sunnah mutlaqoh dan yang disunnahkan di setiap malam dan siang.
Tentang hukum melakukan shalat-shalat tersebut berjama’ah terjadi peselisihan diantara para ulama. Madzhab Syafiiyah dan Hambaliyah memperbolehkan berjama’ah, Madzhab Hanafiyah memakruhkannya dan madzhab Malikiyah membolehkan berjama’ah kecuali sunnah rawatib sebelum subuh. Mereka nyatakan hal itu menyelisihi yang lebih utama, selebihnya boleh dengan syarat jama’ahnya tidak banyak dan tidak ditempat yang terkenal, karena takut terjadi riya’ dan munculnya anggapan bahwa hak itu wajib.
Akan tetapi yang benar dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam , beliau pernah melakukan kedua-duanya. Pernah meklakukan shalat sunnah tersebut dengan berjama’ah dan sendirian. Sebagaimana riwayat berikut ini:
a.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ جَدَّتَهُ مُلَيْكَةَ دَعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِطَعَامٍ صَنَعَتْهُ فَأَكَلَ مِنْهُ ثُمَّ قَالَ قُومُوا فَأُصَلِّيَ لَكُمْ قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ فَقُمْتُ إِلَى حَصِيرٍ لَنَا قَدْ اسْوَدَّ مِنْ طُولِ مَا لُبِسَ فَقَامَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَفْتُ أَنَا وَالْيَتِيمُ وَرَاءَهُ وَالْعَجُوزُ مِنْ وَرَائِنَا فَصَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ انْصَرَفَ
“Dari Anas bin Malik Radhiallahu’anhu beliau menyatakan bahwa neneknya yang bernama Mualikah mengundang Rasulullah makan-makan yang dibuatnya. Lalu Rasulullah memakannya dan berkata: “bangkitlah kalian, aku akan shalat berjama’ah bersama kalian”. Anas berkata: aku mengambil tikarkami yang telah berwarna hitam karena lamanya pemakaian dan rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam bangkit. Aku dan seorang anak yatim membuat shof dibelakang beliau, sedang orang-orang tua wanita berdiri dibelakang kami. Rasulullah shalat dua raka’at kemudian pergi”[16]
b.
عَنْ عِتْبَانَ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاهُ فِي مَنْزِلِهِ فَقَالَ أَيْنَ تُحِبُّ أَنْ أُصَلِّيَ لَكَ مِنْ بَيْتِكَ قَالَ فَأَشَرْتُ لَهُ إِلَى مَكَانٍ فَكَبَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَفْنَا خَلْفَهُ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ
“Dari Utbaan bin Maalik bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mendatanginya di rumahnya, lalu berkata: “Dimana dari rumahmu ini yang kamu suka aku shalat untuk mu”. Lalu aku tunjukkan satu tempat. Kemudian beliau bertakbir dan kami membuat shof dibelakangnya. Beliau shalat dua raka’at”[17]
Demikian juga Syaikh Shalih As Sadlaan me-rajih-kan pendapat kebolehannya dengan syarat, sebagaimana pernyataan beliau: “Yang benar dari yang telah kami sampaikan, nafilah boleh dilakukan dengan berjama’ah. Baik nafilahnya adalah sunnah rawatib atau sunnah mustahabbah atau tathawu’ mutlaq. Tapi dengan syarat tidak menjadikannya satu kebiasaan, tidak ditampakkan secara terang-terangan dan dilakukan karena satu sebab seperti diminta tuan rumah atau kerena berbarengan dalam menunaikan sunah, seperti tamu ketika bertamu, seandainya dia dan tuan rumahnya shalat witir berjama’ah, dengan syarat tidak timbul kebid’ahan atau perkara yang tidak dibolehkan oleh Syari’at. Jika terjadi satu dari yang telah disebutkan maka tidak disyari’atkan berjama’ah”.[18]
Kesimpulannya dibolehkan melaksanakan shalat sunnah berjama’ah selama tidak menimbulkan kebid’ahan atau pelanggaran syari’at dan dibutuhkan untuk itu. Wallahu a’lam.
Udzur Yang Memperbolehkan Tidak Menghadiri Shalat Berjama’ah
Diperbolehkan tidak menghadiri shalat berjama’ah dengan sebab-sebab tertentu. Diantara sebab-sebab tersebut:
1. Dingin dan hujan.
Berdasarkan hadits dari Nafi’, beliau berkata:
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ أَذَّنَ بِالصَّلَاةِ فِي لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ ثُمَّ قَالَ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ ذَاتُ بَرْدٍ وَمَطَرٍ يَقُولُ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ
“Sesungguhnya Ibnu Umar beradzan untuk shalat pada malam yang dingin dan berangin kencang, kemudian berkata: “Ala Shollu Fi Rihaalikum (Shalatlah kalian di rumah kalian)”. Lalu beliau berkata: “Sesuangguhnya Raasululloh memerintahkan muadzin jika malam dingin dan berhujan mengatakan: “Ala Shollu Firihaal”.(Mutafaqun Alaihi).
2. Sakit yang memberatkan penderitanya menghadiri jama’ah.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala :
وَمَاجَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِن قَبْلُ
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu“ (QS. Al Hajj 78)
dan Sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam ketika sakit dan tidak bisa mengimami shalat beberapa hari:
مُرُوْا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ لِلنَّاسِ
“Perintahkanlah Abu Bakr agar mengimami manusia”[19]
Ibnu Hazm berkata: “Ini tidak diperselisihkan”[20]
3. Kondisi tidak aman yang dapat membahayakan diri, harta dan kehormatannya.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala :
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al Baqarah 286(
dan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ
“Barang siapa yang mendengar adzan lalu tidak datang maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur”[21]
Dalam riwayat Al Baihaqi ada tambahan tafsir udzur disini dengan sakit atau rasa takut (situasi tidak aman). [22]
4. Saat makanan telah dihidangkan dan menahan hajat kecil atau besar.
Berdasarkan hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ
“Tidak boleh shalat saat makanan dihidangkan dan tidak pula ketika menahan buang hajat kecil dan besar”[23]
5. Ketiduran
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
إِنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلَاةَ حَتَّى يَجِيءَ وَقْتُ الصَّلَاةِالْأُخْرَى فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَلْيُصَلِّهَا حِينَ يَنْتَبِهُ لَهَا
“Bukanlah ketiduran tafrith (tercela), akan tetapi tafrith hanya pada orang yang tidak shalat sampai datang waktu shalat yang lainnya. Barang siapa yang berbuat demikian maka hendaklah shalat ketika sadar” [24]
Demikianlah sebagian perkara yang penting yang berhubungan dengan shalat jama’ah. Semoga bermanfaat.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel UstadzKholid.Com
[1] Al Mughni, 3/7.
[2] Al Ifshah An Ma’aanish Shihaah, 1/155, dinukil dari Shalatul Jam’ah karya Prof. DR. Shalih bin Ghaanim Assadlaan hal 47. lihat juga pernyataan kesepakatan ini dalam Raudhatun Nadiyah karya Shidiq Hasan Khan, 1/308.
[3] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Jum’ah, Bab Ma Ja’a fil Witri, no 937
[4] Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya kitab Al Masaajid wa Mawaadhi’ Shalat, bab Jawaazu Al Jama’ah fin Nafilah wash Shalat Ala Hashiir Wa Khamrah no. 1056.
[5] Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya, kitab Ash Shalat bab Fi Fadhli Shalatul Jama’ah no.467, An-Nasaa’i dalam sunannya kitab Al Imamah bab Al jama’ah idza kaana Itsnaini no.834, Ahmad dalam Musnad-nya no.20312 dan Al Haakim dalam Mustadrak-nya 3/269. Hadits ini di-shahih-kan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya, 2/366-367, no. 1477.
[6] Diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Maghaaziy no. 3963.
[7] Diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam Shahih-nya
[8] Lihat Majmu’ Fatawa, 23/331.
[9] Lihat Shalatul Jama’ah hal 50. tentang tarjih mereka ini dapat dilihat dalam kitab Adaab Al Masyi Ila Shalat hal 29 dan Al Mukhtaraat Al Jaliyah Fil Masaail Al Fiqhiyah (dalam Al Majmu’ah Al Kaamilah Li Mualafat Syeikh Abdurrahman bin Naashir Assa’diy, 2/109).
[10] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya kitab Mawaaqitus Shalat bab Man Adraka Minas Shalat Rakaat no.546 dan Muslim dalam Shahih-nya kitab Al Masaajid wa Mawaadhi’ Shalat, Bab Man Adraka Minas Shalat Rakaat Faqad Adraaka Shalat no. 954
[11] Diriwayatkan oleh An Nasaa’i dalam Sunan-nya kitab Al Mawaaqit Bab Man Adraka Rak’atan Minas Shalat no. 554, Ibnu Maajah dalam Sunan-nya, kitab Iqamatush Shalat Was Sunnah Fiha, bab Ma Ja’a Fiman Adraka Minal Jum’at Rak’atan no.1113 dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya 3/173.
[12] Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam sunannya kitab Ash Shalat Bab Fi Rajuli Yudrikul Imam Sajidan Kaifa Yasna’ no. 759
[13] Lihat Shalatul Jama’ah hal 51.
[14] Majmu’ Fatawa, 23/331-332 dengan sedikit pemotongan.
[15] Diringkas dari Shalatul Jama’ah, karya Syaikh Shalih As Sadlaan hal 74-78 dengan beberapa perubahan.
[16] Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahih-nya kitab Al Masaajid wa Mawaadhi’ Shalat bab Jawaazu Al Jama’ah Fin Nafilah was Shalat Ala Hashiir wa Khomrah no. 1053
[17] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya kitab Ash Shalat bab Idza Dahola Baitan Haitsu Syaa no. 406.
[18] Shalatul Jama’ah hal 77-78.
[19] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya
[20] Al Muhalla, 4/351.
[21] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, kitab Al Masaajid wal Jama’ah, bab At Taghlidz fi At Takhalluf ‘Anil Jama’ah no. 785. hadits ini di-shahih-kan Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Maajah no. 631.
[22] Dibawakan oleh penulis kitab Shalat Jama’ah hal 199 dan dinisbatkan kepada Sunan Al Kubra Al Baihaqi, 1/185.
[23] Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya kitab Al Masaajid wa Mawaadhi Shalat bab Karahatus Shalat Bi Hadhratith Tho’aam no. 869.
0 komentar:
Posting Komentar